Bahasa Arab, Antara Cinta Pelajar Muslim Vs Kebencian Zionis
Rahasia Penggunaan Istilah Murid
Kesaksian Tamu Khatmul Quran: Menyaksikan Keindahan Harmoni Ilmu dan Iman di Sekolah Hidayatullah Jogja
Lima Cara Mengajari Anak Berani
Resume Webinar "Siapkan Anak untuk Masuk Pondok Pesantren" bersama ustadz Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.
Delapan Parameter untuk Mengukur Mutu Keislaman Kita
Menghadapi Anak Yang Banyak Bertanya
Kemandirian Pendanaan Berkelanjutan pada Sebuah Organisasi
Cinta Amal Shalih vs Ceklist Kegiatan
Enam Tips Mengajari Anak Bersikap Lemah Lembut
Agama Itu Nasihat; Untuk Siapa?
SEARCH
TERBARU
KATEGORI
- abdullah munir (1)
- abdullah said (1)
- artikel (14)
- asatidz (3)
- bahasa arab (1)
- banjir aceh (1)
- banjir sumatera (2)
- banjir sumatera barat (1)
- banjir sumatera utara (1)
- berita (38)
- bi'ah lughowiyah (1)
- hidayatullahyogyakarta (5)
- kisah inspiratif (1)
- kunjungan (2)
- mahasantri (2)
- mushida (1)
- muslimathidayatullah (1)
- parenting (4)
- pendidikan (1)
- pesantren bahasa arab (1)
- promosi (3)
- santri (3)
- seleksi masuk al-azhar mesir jalur resmi markaz tathwir (1)
- suara hidayatullah (2)
- tkyaabunayya (1)
- update berita banjir 2025 (1)
- ust fauzil adhim (4)
- webinar (2)
Website Resmi Hidayatullah
MTs-MA Hidayatullah
SDIT HIDAYATULLAH
TK Yaa Bunayya Hidayatullah Jogja
Custom HTML
Bahasa Arab, Antara Cinta Pelajar Muslim Vs Kebencian Zionis
Pada akhir Mei 2025 lalu, sayap militer Hamas, brigade Izzuddin Al-Qassam mengeluarkan maklumat bahwa mereka baru saja menghabisi sekelompok Musta’ribin di Rafah Timur. Melalui layar media Al-Jazeera tampak sekitar sembilan orang berseragam sipil dan bersenjata menyisir reruntuhan bangunan lalu mereka memasuki sebuah pekarangan yang sudah dipasang peledak. Bum! Video berdurasi satu menit empat puluh detik itu berakhir dengan rekaman asap hitam.
Musta’ribin atau Mista’arvim dalam bahasa Ibrani, adalah istilah untuk intelijen Zionis yang menyamar dan membaur dengan masyarakat Arab Palestina. Mereka fasih berbahasa Arab, kental berbudaya Arab, mengenakan kafiyeh, dan mengenalkan diri sebagai akamsi alias warga lokal.
Musta’ribin adalah versi pasukan khusus intelijen militer yang terlatih. Tetapi semua taruna militer dan kepolisian di tanah jajahan Israel sejatinya memang diwajibkan bisa berbahasa Arab. Jelas tujuannya adalah untuk memuluskan penjajahan; mengontrol warga Palestina, menjaring informasi, dan menyebarkan propaganda.
Dalam perjalanannya penjajah Israel berhasil memenangkan “perang bahasa” di tahun 1950-an dan sukses menyingkirkan bahasa Arab sebagai bahasa bawaan mayoritas imigran haram Yahudi dari Timur Tengah. Ibrani berkibar, dan Arab mati oleh generasi. Hari ini generasi kedua penjajah tinggal 10% yang berbahasa Arab, dan generasi berikutnya hanya tinggal 1,5% saja.
Meski begitu, sampai tahun 2018 status bahasa Arab masih menjadi bahasa resmi di negara penjajah, setelah Ibrani tentunya. Status itu kini dicabut melalui undang-undang, Arab menjadi bahasa khusus, tetapi bukan lagi resmi. Penduduk Israel Arab yang tinggal sekitar 20% itu umumnya didiskriminasi jika menggunakan bahasa Arab di tempat-tempat kerja.
Secara praktik bahasa Arab memang dipojokkan di Israel, tapi untuk misi penjajahan ia justru dipelajari. Dalam satu dekade terakhir misalnya, minat penduduk Israel belajar bahasa Arab justru meningkat. Inisiatif pembelajaran bahasa Arab bermunculan untuk memenuhi demand-nya. Sekolah bahasa swasta, kelas-kelas di dalam institusi kerja, sampai kursus-kursus di desa-desa jajahan banyak bermunculan.
Misi penjajahan dan kebencian itu terlihat dari proses belajarnya. Salah satu perkuliahan bahasa Arab yang dikutip Al-Jazeera.net dikabarkan melibatkan mantan intelijen militer, aktivis penjajahan, dan diplomat sebagai pengisi kuliah-kuliah pengantar. Mereka mempromosikan fungsi bahasa Arab tidak sekadar bagian dari budaya tapi juga sebagai alat pengendali Palestina.
Dengan alasan yang sama beberapa sekolah menengah di wilayah jajahan Zionis telah menjadikan bahasa Arab sebagai “mata pelajaran wajib”. Pelajar Yahudi diwajibkan melek bahasa Arab.
Tentu terasa janggal bila mendengar bahwa mempelajari bahasa Arab itu “wajib” untuk pelajar Israel. Sementara di waktu yang sama, bangsa apartheid itu justru mendiskriminasi dan menampakkan permusuhan yang membabi buta kepada Al-Qur’an dan para pembacanya, terutama muslim Arab Palestina. Sebegitu nyatanya kebencian itu bisa menjadi bahan bakar untuk belajar.
Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan pelajar muslim di seluruh tanah ‘ajam — non-Arab, termasuk Indonesia, yang tidak menyadari ada hubungan apapun terhadap bahasa Arab?
Bukti Nyata Bahasa Indonesia
Bila boleh menerka, barangkali pelajar muslim tak lagi terdesak belajar bahasa Arab sebab tak sedang ada perlu dengan orang Arab. Atau tak merasa perlu sebab bahasa Indonesia pun mulai dipelajari orang Arab. Atau mungkin alasan lainnya, Al-Qur’an dan tafsirnya pun sudah diterjemahkan, buku-buku, ceramah, dan perkuliahan juga sudah dialih bahasa, kecerdasan artifisial apalagi sudah cukup fasih untuk dipekerjakan. Atau barangkali ada pula keyakinan bahwa Arab hanyalah budaya, sebagaimana Indonesia yang juga kaya akan budaya, maka bahasa Indonesia lebih utama bagi penduduknya dari bahasa lainnya, termasuk Arab.
Khusus yang terakhir ini Indonesia perlu ingat bahwa saat dijajah istilah ‘Bahasa Indonesia’ bukanlah nama bahasa resmi di manapun di wilayah Nusantara. Ia bahasa baru yang diadaptasi dari Melayu. Meski begitu, bahasa itu menjadi tulang punggung gerakan persatuan melawan penjajah sejak peristiwa Sumpah Pemuda. Tanpa satu bahasa tidak ada rasa sama antara Jawa dengan Papua, rasa satu antara Sumatera dengan Maluku. Karena satu bahasa itu maka ide pergerakan cepat tersebar, identitas nasional mulai terbentuk.
Muslim Indonesia seharusnya tidak terlambat menemukan tesis, bahwa begitu pula satu kunci vital melawan penjajah Zionis adalah bahasa persatuan umat: bahasa Arab. Mereka harusnya pertama kali meneriakkan sumpah pemuda internasional di panggung dunia, sebagai putra putri umat, mengaku bertuhan satu, berakidah satu, dan menjunjung bahasa persatuan umat, bahasa Arab.
Shalahuddin Al-Ayyubi, sebagai tokoh pemersatu yang berhasil menaklukkan Baitul Maqdis — dengan berbahasa Arab — adalah orang yang berasal dari suku Kurdi. Begitu pula Nuruddin Zanki, yang berasal dari Turki. Bahkan Izzuddin Al-Qassam yang namanya kini menjadi simbol perlawanan anti-Zionis oleh Hamas adalah tokoh dari Syam dan berdarah Turki. Bila Arab hanya budaya, maka mereka seharusnya lebih fasih berbahasa Kurdi atau Turki. Tapi tidak, bahasa Arab adalah senjata, bahasa pemersatunya.
Antara Wajib dan Lazim
Bila bagi pelajar Zionis belajar bahasa Arab adalah wajib, maka bagi pelajar muslim mempelajarinya adalah bisa lebih dari wajib, yaitu lazim. Bila sesuatu yang wajib artinya adalah jika ditinggalkan bisa berbuah sanksi, maka lebih dari itu, sesuatu yang lazim adalah satu bagian pokok, sebuah kesatuan, yang tidak bisa ditinggal, dan yang tidak bisa terpisahkan.
Ini dijelaskan misalnya oleh Imam As-Syafii (w. 204 H) dalam kitab Ar-Risalah-nya. “Setiap muslim wajib belajar bahasa Arab sejauh kesungguhan yang dia bisa setidaknya untuk memahami syahadat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan mengucapkan kewajibannya seperti takbir dan Al-Fatihah, dan lainnya.” Ulama lain, semisal Ibnul Hazm (w. 456 H) dalam kitab Al-Ihkam juga mengamini.
Landasan kaidah ushulnya adalah ‘ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib’, dalam kaidah yang serupa bunyinya “sebuah sarana itu hukumnya mengikuti hukum tujuannya”. Jika memahami Al-Quran hukumnya wajib maka sarana untuk memahaminya adalah sama wajibnya. Hal ini yang dijelaskan Ibnu Taymiyah (w. 728 H), dalam karyanya Al-Iqtidha’. Tetapi karena bahkan syahadat itu lazim— yang jika tidak diyakini dan diucapkan maka Islamnya runtuh, maka mengetahui bahasa Arab sebagai bahasanya bisa meningkat pula menjadi lazim.
Tentu ke-lazim-an ini secara syariat hanya mengikat setiap muslim pada tingkat minimal seperti yang dijelaskan Imam Syafi’i. Tetapi pada level pengetahuan bahasa yang mendalam taklifnya adalah bagi pelajar, khususnya pelajar muslim yang mendalami Al-Qur’an dan ilmu syari’at — yang dikenal dengan istilah santri.
Pelajar Muslim yang tidak belajar bahasa Arab itu seperti mobil tanpa roda, pesawat tanpa sayap, atau rumah tanpa dinding, ia keluar dari esensinya sendiri. Tidak hanya salah — tapi ia juga sekaligus runtuh.
Bahasa Arab bagi seorang Muslim adalah bahasa utama sebelum bahasa ibunya sendiri. Sebab Kalam Allah lebih utama dari kalam ibu. Bayangkan, kata yang pertama terdengar saat lahir adalah takbir, saat waktu shalat adalah adzan, saat hendak wafat adalah talqin. Kalimat yang berulang setidaknya tujuh belas kali sehari adalah ayat-ayat Al-Qur’an, dzikir, shalawat, serta doa-doa. Semua kalimat-kalimat yang semestinya dicintai seorang muslim itu berbahasa Arab.
Mengapa lantas Yahudi — yang hanya modal benci —justru yang mewajibkan diri mempelajari bahasa itu, dan bukan orang-orang Muslim yang bermodalkan cinta?
Kalau Zionis bisa melahirkan Musta’ribin, orang Arab buatan, dengan motif permusuhan dan spionase, mengapa pelajar muslim tidak bisa menjadi Musta’ribin, orang Arab tiruan, untuk alasan cinta dan perjuangan?
Atau jangan-jangan cinta itu tak benar-benar tumbuh karena tidak kenal? Sayangnya untuk perkenalan pun harus dimulai dengan belajar.
Maka apapun alasannya tidak ada celah untuk tidak mempelajari bahasa Arab, supaya cinta itu lahir, supaya perjuangan ini tidak berhenti.
Mari ikut berlomba-lomba.
Ditulis oleh Auda Dhiyauddin Zaki, Lc
(Pengajar di Pesantren Hidayatullah Yogyakarta)
Rahasia Penggunaan Istilah Murid
Ada pertanyaan menarik soal penggunaan istilah untuk menamai para penuntut ilmu. Manakah istilah yang lebih tepat antara siswa, pelajar, pembelajar, murid, atau peserta didik? Sebuah pertanyaan yang sederhana, tetapi membutuhkan penjelasan yang rumit.
Akan bertambah rumit jika si penanya adalah orang awam yang tidak suka dengan pembahasan yang 'njlimet.' Mereka bertanya, ‘kenapa sih istilahnya berubah-ubah terus, dulu PMB, PSB, PPDB, dan sekarang berubah jadi baru lagi, SPMB?’
Kalau mau jawaban sederhana ya tinggal dijelaskan kepanjangannya saja. PMB adalah Penerimaan Murid Baru, PSB adalah Penerimaan Siswa Baru, PPDB adalah Penerimaan Peserta Didik Baru, sedangkan SPMB adalah Sistem Penerimaan Murid Baru. Tapi jawaban ini tentu tidak menyelesaikan persoalan. Ia masih menyisakan pertanyaan berikutnya, yaitu ‘apa bedanya?’ Apa bedanya murid, siswa, dan peserta didik? Mau dijawab yang beda adalah menterinya, tentu kurang elok. Walaupun itulah Indonesia, setiap ganti menteri selalu ganti istilah.
Di balik pergantian istilah pasti ada spirit yang melatarbelakanginya. Spirit inilah yang 'mungkin' menjadi pertimbangan bagi seorang menteri dalam memilih kata murid, siswa, pelajar, atau peserta didik. Menteri yang mengusung kampanye inklusifisme biasanya lebih alergi dengan istilah serapan dari bahasa asing, terutama bahasa arab. Baginya, kata itu dianggap tidak cocok dengan Indonesia yang 'multikultural'. Kata serapan dari bahasa arab seperti kata murid dianggap terlalu islamis. Terlalu eksklusif!
Namun jika melihat pendekatan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, di mana anak didik diposisikan sebagai subyek pendidikan, istilah murid jauh lebih tepat. Mengapa? Sebab kata murid memiliki arti ‘orang yang memiliki kehendak’. Murid artinya orang yang melakukan aktivitas atas dasar motivasi dari dalam dirinya, bukan karena terpaksa. Murid artinya orang yang memiliki keinginan. Murid artinya orang yang memiliki inisiatif. Murid artinya orang yang aktif, tidak pasif. Murid artinya orang yang memiliki dorongan kuat untuk belajar demi meraih cita-cita. Artinya, murid adalah subyek belajar.
Jika istilah murid ini benar-benar digunakan sebagai sprit pendidikan, maka akan berpengaruh positif pada aktivitas pendidikan di sekolah-sekolah. Guru akan terdorong untuk membingkai kegiatan belajar mengajarnya dengan hal-hal kreatif yang menumbuhkan rasa ingin tahu anak. Para penyusun kurikulum akan berfokus pada bagaimana mengubah persepsi anak terhadap kegiatan belajar, dari yang semula beban menjadi kebutuhan. Hal ini merupakan perkara esensial dalam pendidikan. Sebab, tugas utama pendidikan bukanlah menjejali, tetapi bagaimana memproses anak menjadi sosok yang punya keinginan untuk belajar setiap saat, di manapun dan dalam kondisi apapun.
Materi pelajaranpun demikian. Jika kita ingin melahirkan generasi yang aktif, kreatif, mandiri dan berkarakter, maka materi pelajaran harus dipenuhi dengan nilai-nilai esensial yang mampu menggugah kesadaran, bukan didominasi sembarang pengetahuan yang ketika masuk ke otak, dalam sekejap akan berubah menjadi ‘sampah’.
Jadi, pilihlah kata murid! Jadikan itu sebagai filosofi pendidikan kita. Dorong dunia pendidikan kita untuk menyadari tugas utamanya, yaitu menumbuhkan keinginan belajar, bukan berfokus pada banyaknya beban materi pelajaran!
Penulis: Ustadz Abdullah Munir (Ketua DPW Hidayatullah DIY Jateng bagian selatan, penulis buku "Spiritual Teaching")
Kesaksian Tamu Khatmul Quran: Menyaksikan Keindahan Harmoni Ilmu dan Iman di Sekolah Hidayatullah Jogja
![]() |
| Khatimin dan Khatimat memasuki panggung di Gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga |
Sabtu, 22 Februari 2025 saya berkesempatan menghadiri acara Khatmul Quran dan Imtihan yang diselenggarakan oleh Sekolah Hidayatullah Jogja. Acara yang digelar di gedung Prof. Amin Abdullah UIN tersebut bukan sekadar seremoni biasa, melainkan sebuah perayaan atas harmoni antara ilmu pengetahuan dan keimanan yang menjadi fondasi pendidikan di sekolah ini. Sebagai tamu, saya merasakan atmosfer yang begitu khusyuk, penuh kebanggaan, dan haru.
Pukul 08.00 pagi, acara dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh para siswa. Suara merdu mereka mengalun indah, memenuhi ruangan dan menyentuh hati setiap tamu yang hadir. Khatmul Quran, yang menandai penyelesaian hafalan Al-Quran oleh para siswa, menjadi momen yang sangat mengharukan. Saya melihat wajah-wajah bahagia orang tua yang hadir, beberapa bahkan tak mampu menahan air mata melihat anak-anak mereka telah mencapai prestasi spiritual yang luar biasa.
![]() |
| Khatmul Quran dan Imtihan Sekolah Hidayatullah Jogja |
Setelah sesi Khatmul Quran, acara dilanjutkan dengan Imtihan, yaitu ujian publik untuk menguji hafalan dan pemahaman siswa terhadap Al-Quran. Para siswa dengan percaya diri menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para penguji. Tidak hanya hafalan, mereka juga menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang tafsir dan makna ayat-ayat yang mereka hafal. Saya terkesan dengan kedisiplinan dan kecerdasan yang ditunjukkan oleh para siswa, yang tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga ilmu umum.
Kepala Sekolah MTs Hidayatullah Jogja, Ustadz Muhammad Rifki Saputra, dalam sambutannya menekankan pentingnya mengambil peran dalam menjaga Al-quran, baik dalam pendidikan, kepanitiaan, dan sponsor. "Kami menyakini bahwa proses penjagaan Al-Quran dalam dunia pendidikan perlu untuk dinaungi oleh sebuah sistem yang bermutu, dengan demikian, apa yang kita cita-citakan kepada anak-anak kita dapat kita siapkan sejak dini," ujarnya.
Sebagai tamu, saya merasa terhormat bisa menyaksikan langsung dedikasi dan kerja keras para siswa, guru, dan orang tua dalam menciptakan generasi Qurani. Acara ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga pengingat akan pentingnya pendidikan yang holistik, yang mengedepankan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual.
![]() |
| Peluk dan doa orang tua untuk ananda |
Ketika acara berakhir, saya meninggalkan gedung Prof. Amin Abdullah UIN dengan perasaan penuh inspirasi. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, sekolah ini telah membuktikan bahwa pendidikan berbasis Al-Quran mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan beriman kuat. Semoga apa yang telah dicapai oleh para siswa hari ini menjadi awal dari langkah besar mereka dalam membawa perubahan positif bagi masyarakat dan bangsa.
Artikel ini ditulis oleh David Nuryanto, salah satu tamu yang hadir dalam acara Khatmul Quran dan Imtihan Sekolah Hidayatullah Jogja
Lima Cara Mengajari Anak Berani
Sebelum mengajari anak bersikap berani, orang tua terlebih dulu memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Mendidik anak menjadi pemberani tidak bisa terjadi secara instan, tetapi perlu contoh orang-orang di sekitarnya.
Resume Webinar "Siapkan Anak untuk Masuk Pondok Pesantren" bersama ustadz Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.
Kamis 26 Desember 2024 Sekolah Hidayatullah Jogja sukses mengadakan webinar bersama ustadz Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi. dengan tema "Siapkan Anak untuk Masuk Pondok Pesantren". Webinar ini membahas persiapan anak untuk masuk pondok pesantren, khususnya bagi calon wali murid MTS atau MA tahun ajaran baru 2025/2026 dan yang ingin memasukkan anak pertama ke pesantren. Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi. menjadi narasumber, didampingi oleh Ustadz Ridho dari MTs Putri Hidayatullah Berbah sebagai moderator.
Di awal pemaparan, ustadz Fauzil Adhim menekankan pentingnya takzimul ilmi (memuliakan ilmu). Anak perlu diajarkan untuk menghargai ilmu dan menempatkan ilmu di posisi yang tinggi, bukan hanya mengejar popularitas atau hal-hal bersifat materi. Hal ini dianalogikan dengan orang yang rela berpayah-payah untuk membeli barang viral, karena menganggap sesuatu itu penting.
Ustadz Fauzil Adhim menyarankan untuk membangun hiwar (percakapan) di rumah, membicarakan hal-hal yang luhur (alma'ali wal makarim) dan bukan hal-hal yang remeh. Penting pula untuk menciptakan lingkungan rumah yang baik (albi'ah asalihah) dengan interaksi yang kuat dan membangun pemikiran positif.
Delapan Parameter untuk Mengukur Mutu Keislaman Kita
MANUSIA yang paling mulia disisi Allah adalah yang bertakwa. Sumber daya muttaqin ini kehadirannya adalah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Dan orang yang bertakwa orientasi hidupnya (wijhatul hayah) hanya kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala.
“Anta maqshuduna, ridhaka mathlubuna, dunyana wa ukhrana” (Engkaulah tujuan puncak kami, keridhaan-Mu yang aku cari, demi menggapai kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat kami). Bukan yang lain. Bukan karena ilmu kita, jabatan kita, kepandaian kita, harta kita, atau orientasi dunia lainnya.
Dengan takwa, manusia selalu mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya. Selalu mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya. Selalu mensyukuri karunia-Nya dan tidak mengingkari-Nya. Selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak menjauhi-Nya, meminjam istilah Ibnu Masud dalam Tafsir Ath Thabari.
Parameter Keislaman
Lantas apa indikasinya bahwa keislaman kita sesuai “Manhaj Ilahi dan Nabawi”? setidaknya ada delapan indikator yang bisa memudahkan kita untuk mengukur mutu keislaman kita.
Pertama : Terkikisnya Virus Thagha’
Istilah thagha’ (baca thogho) ini diambil dari surat Al-‘Alaq pada ayat 6. Secara bahasa artinya melampaui batas. Seperti air yang tumpah dari gelas, karena diisi melebihi dari ukurannya. Manusia bersikap thagha karena merasa dirinya serba cukup (ayat 7). Merasa dirinya sudah cukup berharta, berilmu dan berkuasa. Tidak lagi memerlukan bimbingan dari Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى).
Jadi, pertama kali yang harus dilakukan oleh orang yang ingin berhasil mengenal Islam adalah tazkiyatun nafs (membersihkan hati), berfikir obyektif dan terbuka. Melihat ke langit (Allah Subhanahu wa-ta’ala (سبحانه و تعالى)), ke tengah (ayat diri sendiri) dan ke bawah (alam dan seisinya dan tempat kembali manusia). Lahirlah kesadaran transedental.
Jika hati kita belum bisa disterilkan dari kepentingan hawa nafsu, dunia, dan kekuasaan, maka mustahil Islam bisa kita serap dan kita nikmati secara baik. Islam yang bisa dijadikan pencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar. Bukan sekedar Islam sebagai pencuci dosa.
Bangsa kita yang mayoritas Muslim, tapi buktinya masih banyak melakukan korupsi. Karena ajaran Islam hanya dijadikan penebus dosa sebagaimana agama lain. Dari sini sesungguhnya sudah cukup memadai mutu keislaman kita. Sesungguhnya mencegah lebih baik daripada mengobati (al wiqayatu khoirun minal ‘ilaj).
Bahaya laten thagha’ akan berakibat fatal dan krusial. Yaitu membatalkan keislaman kita. Penyakit thagha’ melahirkan tiga kejahatan yang menjadi pemicu penyimpangan manusia sepanjang sejarah. Yaitu, sombong yang diwariskan oleh iblis, serakah (thama’) yang ditularkan oleh Adam as dan hasud yang diwariskan oleh Qabil.
Thagha’ dan iman akan terus berhadap-hadapan sampai hari kiamat. Kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kemusyrikan, al Haqq wal Batil, tidak akan bisa dipertemukan sepanjang sejarah peradaban manusia. Buah dari terkikisnya thagha’ akan mendidik manusia untuk memiliki sikap tawadhu. Rendah hati, selalu memerlukan bimbingan wahyu.
Kedua: Kokohnya Keimanan kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala
Sasaran al-Quran adalah orang-orang yang beriman. Unsur yang paling mulia pada dirinya adalah hatinya. Hatinya steril dari virus kemusyrikan. Sekalipun tinggi kualitas keilmuan, peradaban manusia, ketika berinteraksi dengan al-Quran dengan memaksakan pemahamannya atau menyimpan niat yang buruk, al-Quran yang demikian terang, menjadi kabur. Jadi, iman adalah modal utama dan pertama untuk At-Ta’amul ma’a Al-Quran.
Iman, bagaikan air sumur zamzam. Sumber yang dipancarkannya tidak akan pernah kering dan habis sepanjang sejarah peradaban manusia. Iman itulah yang memotivasi pemiliknya untuk istiqomah (konsisten), mudawamah (berkesinambungan), istimroriyah (terus-menerus), tanpa mengenal lelah, dengan sabar, tegar, teguh, tekun, tawakkal, mengajak kepada kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran tanpa tendensi apapun, pura-pura dan pamrih. Tidak mengharapakan pujian, ucapan terima kasih dan balasan serta tidak takut celaan orang yang mencela.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus bergerak menyemai kebaikan-kebaikan di taman kehidupan ini tanpa kenal letih. Karena, ia yakin dalam setiap gerakan yang dimotivasi oleh nilai-nilai keimanan itu tersimpan potensi kebaikan-kebaikan melulu (barakah). “Taharrak fa-inna fil harakati barakah” (bergeraklah, karena setiap gerakan ada tambahan kebaikan).
Dan, kebaikan yang ditanam itu akan ia panen, kembali kepada dirinya. Baik secara kontan (langsung) ataupun secara kredit (tidak langsung). Bukan dipanen orang lain. Justru, jika berhenti bergerak, potensi yang dimilikinya tinggal sebuah potensi. Tidak tumbuh dan berkembang. Air yang tidak mengalir, akan menjadi sarang berbagai kuman yang mematikan.
Imanlah yang menjadikan seseorang terus aktif membendung/menghalangi berbagai pengaruh negatif kejelekan, kefasikan, kezhaliman, kemungkaran. Karena, semua perbuatan dosa dan maksiat akan menghancurkan dirinya sendiri. Manusia yang bergelimang dalam perbuatan dosa, di dunianya tersiksa, sedangkan di akhirat siksanya lebih menyakitkan.
Imanlah yang mencegah pemiliknya untuk menelola hawa nafsu (syahwat), nafsu perut dan nafsu kelamin. Karena kedua nafsu duniawi itu semakin dicicipi dengan cara yang salah bagaikan meminum air laut. Semakin di minum, bertambah haus.
Ali bin Abi Thalib mengatakan: Tiga hukuman bagi orang yang berbuat maksiat, yaitu penghidupan yang serba sulit, sulit menemukan jalan keluar dari himpitan persoalan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya kecuali dengan melakukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala.
Ketiga: Menjadikan Diri Sebagai Alat Peraga al-Quran
Kita sepakat bahwa al-Quran adalah kitab suci yang orisinil. Ini sudah diberitakan oleh kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Namun secara jujur kita mengakui, betapa jauhnya jarak antara kaum muslimin dengan kitab sucinya.
Bagaikan pemain layang-layang. Umat Islam belum mampu menjadikan dirinya sebagai gambaran kongkrit “al-Quran yang berjalan di pasar, di gedung parlemen, di jalan raya, di rumah tangga, di lembaga pendidikan, di dunia militer” dll.
Faktanya, al Quran sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, arah kehidupan, orientasi dan perilaku kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.
Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita. Sehingga al-Quran merubah kehidupan kita secara total dan merujuk referensi isi al-Quran.
Sikap seorang Muslim terhadap al-Quran seharusnya ada empat hal. Tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya), tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan), kemudian mengajak orang lain ke jalan Al Quran tersebut. Mustahil mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak mengamalkannya. Terserah kita, al-Quran sebagai pembelamu (hujjatun laka) atau penggugatmu (hujjatun ‘alaika), demikian Sabda Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Artinya, al-Quran bisa memperkuat sikap kita sebaliknya bisa menghancurkan kita atas sikap-sikap kita yang tak sesuai dengan nilai yang terkandung salam al-Quran.
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri].” (QS. Al Araf (7): 203-204).
Keempat: Menjadikan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam sebagai Idola
Tujuan puncak orang beriman adalah mencari ridha Allah (Ya Allah Ya Rabbana Anta Maqshuduna, Ridhaka Mathlubuna Dunyana Wa Ukhrona). Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia yang dipilih oleh-Nya untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia.
Tujuan berislam adalah mencari ridha Allah Subhanahu wa-ta’ala atau “Allahu Ghoyatuna”. Dan salah satu strategi menjalankannya dalam kehidupan berislam adalah mengikuti Rasulullah Muhammad.
Dua kalimat syahadat mengajarkan pelajaran penting. Yang pertama tauhidul ghoyah (menyatukan tujuan). Untuk menggapai tujuan, strateginya yang kedua : tauhidul qiyadah (menyatukan komando kepemimpinan). Mustahil kita bisa makrifatullah tanpa didahului oleh makrifatur rasul.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. Al Ahzab (33) : 21)
Tapi mari kita saksikan pada diri kita semua, saudara kita, atau anak-anak kita. Siapa sosok yang menjadi idola kita atau mereka ? Nabikah? Yang cukup menggenaskan, tidak sedikit dari generasi muda Islam yang mengidolakan artis pengagum kebebasan, penjahat, pecandu narkoba, pemabuk, dan pelaku pornografi. Jangan-jangan di antara mereka adalah anak kita. Na’udzu Billah min dzalik.
Kelima: Ibadah, Refleksi dari Keimanan
Agar hati (tempatnya aqidah tauhid) bisa dirawat dari berbagai penyakit yang mengotori dan merusaknya, memerlukan ketekunan dalam ibadah kepada-Nya. Untuk menguji kualitas komitmen keimanan seseorang adalah giat beribadah kepada Allah. Baik yang wajib ataupun yang sunnah. Ketaatan beribadah merupakan turunan dari keimanan.
Pengertian iman menurut Aswaja adalah, “Al imanu tashdiqu bil qalb, iqrarun bil lisan wal ‘amalu bil arkan, yazidu bith thaah wa yanqushu bil makshiah” (Iman itu diyakini di dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan). Bukan disebut beriman hanya karena dia memakai songkok putih, bergelar haji, tetapi tindak-tanduknya belum mencerminkan seorang Muslim. Atau tidak bisa seseorang dikatakan sholeh hanya karena dia baik, suka menyumbang fakir-miskin, tetapi dia kafir atau tidak pernah sholat. Seorang yang beriman namanya mukmin. Dan orang Mukmin, dia pasti rajin beribadah dan kuat memegang syariat Allah. Mukmin itu komitmen dengan penegakan syariat..
Keenam: Bangkit Untuk Menyelamatkan Ummah
Tidak cukup seorang muslim puas jika melihat dirinya shalih, sedangkan membiarkan orang lain bergelimang dalam dosa. Islam yang benar, di samping dirinya shalih, pula mengajak saudaranya menjadi shalih pula. Seorang muslim yang tidak memiliki kepekaan sosial, maka suatu saat keimanan yang dimilikinya akan mengalami degradasi. Karena secara individual orang yang shalih disebut khairul bariyyah, dan memiliki kesadaran ideologis untuk membentuk umat sehingga menjadi khairu ummah. Idealisme keimanannya dibuktikan dengan membentuk sebuah komunitas. Mustahil menjadi khairu ummah tanpa bahan dasar khairul bariyyah. Insan shalih tidak bisa dipisahkan dari al mujtama’ ash-shalih (masyarakat yang shalih). Jadi, kita dituntut untuk shalih linafsihi dan shalih lighairihi.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran (3) : 110).
Ketujuh: Menegakkan Kepemimpinan Imamah dan Jamaah
Konsekwensi keimanan seseorang adalah berjamaah (berkumpul karena ikatan la ilaha illallah muhammadur rasulullah). Bukan sekedar ikatan kerja. Manusia adalah makhluk sosial. Sekalipun memikul pekerjaan sederhana, misalnya tertawa, mencukur rambut, memerlukan keterlibatan orang lain. Lebih-lebih melaksanakan ajaran Islam yang demikian lengkap dan mengandung persoalan yang kompleks. Islam bukan sekedar makanan akal, pula konsumsi hati dan perasaan.
Islam tidak sebatas dipahami, tetapi perlu diperagakan dalam kehidupan nyata. Din (konsep) tidak bisa dipisahkan dari daulah (penerapannya). Orang Islam dituntut menunjukkan bahwa dirinya adalah alat peraga al-Quran dan as-Sunnah. Yang berjalan di alam nyata.
Dan Islam tidak akan berdiri tegak dan teraplikasikan secara kaffah tanpa adanya sebuah jamaah yang kuat dan berwibawa. Kita sangat diuntungkan dengan berjamaah, untuk menjaga keshalihan kita. Di samping itu, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan orang beriman dengan menggunakan kata tunggal (mufrad), – aman – tetapi memakai isim jama’ – amanuu -.
Kepemimpinan yang dibangun tidak berdiri di atas prinsip laa ilaaha illah muhammadur Rasulullah, maka mustahil bisa menguatkan ikatan hati. Sebagaimana kondisi masyarakat Yahudi yang digambarkan dalam al-Quran. Karena masing-masing individu berjiwa kerdil. Imamah jamaah adalah media yang paling efektif untuk menyederhanakan perbedaan kita dan menonjolkan persamaan. Mengecilkan persoalan furuiyah (cabang agama) dan membesarkan persoalan ushul (pokok). Karena, perkumpulan kita diikat oleh ikatan yang prinsip (ideologis), La ilaha illah wa Muhammadur Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam. Bukan kepentingan pragmatis dan sesaat serta jangka pendek.
Kedelapan: Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah
Inilah nikmat tertinggi yang kita rasakan setelah nikmat iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ukhuwwah Islamiyah inilah yang berhasil memutus mata rantai ‘ashabiyah (fanatisme kesukuan), ananiyah (egoisme), keangkuan, kesombongan, atribut dan asesoris lahiriyah, yang menjadi pilar berdirinya masyarakat jahiliyah. Persaudaraan yang diikat oleh ikatan tauhid ini yang bisa mengungguli ikatan kekeluargaan seketurunan. Ukhuwwah inilah yang dijamin menjaga keshalihan kita dan melipat gandakan hasil kerja-kerja kita.
Inilah sebuah ikatan yang kokoh, karena dibingkai oleh prinsip. Saling cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa-ta’ala. Maka, lahirlah sebuah ungkapan; “Seandainya cinta dan kasih sayang itu telah merasuk dalam kehidupan maka manusia tidak memerlukan keadilan dan undang-undang.”
Kasman Singodimejo salah satu pendiri Muhammadiyah pernah mengatakan; “Sesungguhnya kaum muslimin sekalipun hanya mengumpulkan kerikil, dalam waktu dekat akan menjadi gunung.” Seandainya jumlah kaum muslimin yang demikian besar dan berhasil menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka (furuiyah), maka hanya sekedar kencing secara berjamaah di pemukiman Yahudi di Palestina, mereka akan “tenggelam”.
Imam Syafii mengatakan, “Allah tidak akan menolong umat yang bercerai-berai, baik dahulu, kini dan umat yang akan datang.” Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, kata pepatah Indonesia. Karena, tangan Allah di atas orang yang berjamaah (berkumpul karena ikatan iman), bukan sekedar berhimpun dan bergerombol karena hobi.
Semoga, tulisan ini semakin memperkokoh dan memperkuat identitas keislaman kita semua. Amin.*
Menghadapi Anak Yang Banyak Bertanya
Kemandirian Pendanaan Berkelanjutan pada Sebuah Organisasi
DALAM setiap organisasi, baik itu perusahaan, lembaga pendidikan, organisasi nirlaba, ataupun berupa komunitas kecil, apalagi negara keberadaan pendanaan memiliki peran yang sangat vital. Sehingga dana dapat diibaratkan bagaikan darah yang menghidupi seluruh organ dan jaringan tubuh manusia, mengantarkan oksigen dan nutrisi vital untuk keberlangsungan hidup, sekaligus memastikan setiap bagian berfungsi dengan baik. Tanpa pendanaan yang cukup dan terdistribusi dengan baik, hampi dapat dipastikan bahwa sebuah organisasi akan kesulitan menjalankan operasional dan mencapai tujuannya.
Oleh karenanya, keberadaan pendanaan ini menjadi penting ketersediannya untuk disistribusikan ke seluruh elemen organisasi secara merata dan proporsional. Tak boleh ada elemen dalam organisasi yang kekurangan dan tak boleh ada yang berlebih. Ketidakseimbangan dalam distrubusi, dapat mengakibatkan penyakit dalam tubuh, menghambat fungsi dan kinerja organisasi, tidak jarang menyebabkan bagian tubuh tertentu menjadi lumpuh bahkan diamputasi.
Konsekwensinya, manajemen puncak organisasi harus berupaya semaksimal mungkin untuk senantiasa menjamin keberadaan dan ketersediaan pendanaan ini. Selain itu, diversifikasi sumber pendanaan juga menjadi salah satu kunci utama dalam masalah pendanaan ini. Mengandalkan hanya pada satu sumber saja, bagaikan berjalan di atas tali tipis, penuh risiko dan ketidakpastian, selanjutnya dapat mengantarkan organisasi untuk terjerembab ke lembah kematian.
Sumber Pendanaan yang Sehat dan Berkelanjutan
Organisasi yang kuat adalah organisasi yang mampu mandiri secara finansial. Sumber pendanaan yang ideal berasal dari usaha dan sumber internal organisasi, seperti iuran anggota, temasuk berbagai bentuk usaha di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dakwah, zakat, infaq, shadaqah dan waqaf serta berbagai layanan sosial lainnya. Pada yang sama juga mengharuskan organisasi mengembangkan berbagai jenis bisnis produktif mulai dari investasi di berbagai sektor usaha yang menguntungkan, hingga program-program danan berbayar lainnya yang ditawarkan oleh organisasi, termasuk melalui kerjasama dengan pihak lain yang saling menguntungkan.
Selanjutnya, pendapatan melalui keuntungan dari usaha internal tersebut akan melahirkan pendanaan organisasi yang memberikan daya tahan bagi organisasi, sekaligus memberikan kebebasan bagi organisasi untuk menentukan arah dan prioritas program sesuai dengan visi dan misinya, tanpa tekanan dan dikendalikan oleh kepentingan dari pihak luar manapun juga. Pada saat yang sama juga menciptakan stabilitas finansial yang memungkinkan organisasi untuk bertahan jika terjadi situasi krisis terutama ketika pendanaan eksternal menurun.
Namun, sekali lagi sebagaimana dijelaskan di atas, maka diversifikasi sumber pendanaan tetaplah penting. Mendapatkan dana dari hibah, donasi, bantuan eksternal termasuk dari pemerintah, corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan, serta sponsorship, dan berbagai jenis dana eksternal lainnya dapat membantu organisasi untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan skalanya. Dengan catatan, beragam sumber eksternal tersebut tidak terikat dengan perjanjian yang menyebabkan organisasi kehilangan ruh dan jatidirinya, apalagi mengakibatkan melenceng dari visi dan misi organisasi itu sendiri.
Dana Bukan Segalanya, Tapi Segalanya Perlu Dana
Memang benar bahwa dana bukan segalanya dalam organisasi. Faktor-faktor lain seperti kepemimpinan, budaya organisasi, manajemen organisasi serta sumber daya manusia yang kompeten juga sangat menentukan keberhasilan sebuah organisasi. Namun, hampir semua aspek dalam organisasi realitasnya, seringkali akan berhubungan dengan kebutuhan akan dana. Program-program yang inovatif, pembiayaan dakwah dan kegiatan sosial, pembinaan dan pelatihan untuk anggota, kegiatan operasional sehari-hari, hingga infrastruktur fisik, dan berbagai jenis program lainnya, pada kenyataannya, semuanya memerlukan pendanaan.
Tanpa dana yang memadai, maka banyak inisiatif dan program potensial di atas tidak dapat diwujudkan dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi setiap organisasi untuk memiliki strategi pendanaan yang jelas dan efektif. Ini juga melibatkan perencanaan keuangan yang matang, diversifikasi sumber pendapatan, dan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel.
Dengan demikian maka, semakin jelas bahwa dana dibutuhkan untuk membiayai berbagai kegiatan program dan operasional sebagai diuraikan di atas, dan faktanya dalam berbagai program memang kebanyakan bersifat cost center. Sehingga kehadiran dana ini, sekaligus juga diperlukan untuk menjalankan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai visi dan misi organisasi.
Distribusi Proporsional
Hal yang tidak kalah penting adalah, berapapun pendanaan yang dimiliki oleh organisasi, maka distribusi dana dalam organisasi harus dilakukan dengan cermat dan proporsional. Biasanya organisasi juga memiliki regulasi terkait mekanisme distribusi pendanaan ini. Tetapi tidak jarang organisasi yang tidak mampu menimplementasikan secara baik dan proporsional, karena gagal paham dalam mengindentifikasikan sekala prioritas, disamping juga kerapkali ketidakpahaman urgensi pendanaan pada level departemen ataupun bagian/unit dalam organisasi, yang menyebabkan salah paham bahkan disharmonis dalam organisasi.
Sebagaimana dijelaskan di atas, maka mesti kembali kepada perumpamaan dana seperti darah yang harus mengalir ke seluruh tubuh secara seimbang, dana dalam organisasi juga harus dialokasikan ke setiap departemen dan bidang/unit sesuai kebutuhan dan prioritasnya. Jika ada bagian yang kekurangan dana, maka kinerja bagian tersebut akan terganggu, dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja seluruh organisasi. Sebaliknya, jika ada bagian yang menerima dana berlebihan, hal ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan dan inefisiensi.
Distribusi yang tidak proporsional dapat menimbulkan berbagai “penyakit” dalam organisasi, seperti ketimpangan sumber daya, ketidakpuasan antar departemen, dan penggunaan dana yang tidak efektif. Oleh karena itu, manajemen dana harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan efisiensi, memastikan bahwa setiap bagian organisasi mendapatkan dana sesuai dengan kebutuhan dan kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi. Dan dalam satu tarikan nafas juga wajib melakukan laporan yang transparan dan akuntabel.
Penutup
Akhirnya, jelas bahwa dana memainkan peran yang sangat vital dalam kehidupan organisasi. Ibarat darah yang mengalir dalam tubuh, dana harus didistribusikan secara proporsional dan bijaksana untuk memastikan kesehatan dan kelangsungan organisasi. Upaya untuk menjamin pendanaan yang cukup dan berkelanjutan harus menjadi prioritas utama, dengan mengandalkan sumber-sumber internal yang kuat dan beragam.
Organisasi yang mampu mengelola dana dengan baik akan memiliki fondasi yang kokoh untuk mencapai tujuan-tujuannya, beradaptasi dengan perubahan, dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan dana yang efektif bukan hanya tentang keberhasilan jangka pendek, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kemandirian organisasi dalam jangka panjang.[]
Cinta Amal Shalih vs Ceklist Kegiatan
Merenungi permisalan dari Nabi ﷺ mengenai hati dan ilmu. Hati diumpamakan seperti tanah, sementara ilmu ibarat hujan. Hujan di atas tanah yang baik akan menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan yang banyak. Maka pelajaran penting sebagai orangtua maupun guru adalah, menyiapkan hati sangat penting agar tumbuh pada diri anak berbagai inisiatif dan kehendak melakukan amal shalih setiap kali ilmu disampaikan kepadanya.
Dalam Ususut Tarbawiyah, ada 5 prinsip dasar yang sifatnya berurutan. Yang pertama berhubungan dengan hati, sementara yang kedua berkaitan dengan pemahaman dan motivasi meskipun terangkum pada satu kata, yakni ‘ilmu. Tetapi ilmu dalam kaitannya dengan prinsip dasar mendidik anak bukan hanya mencakup pemahaman.
Prinsip ketiga, yakni ‘ubudiyah, kembali berhubungan dengan hati. Sementara prinsip keempat, dalam hal ini tathbiq (تطبيق), berkenaan dengan penerapan dan praktek sehari-hari. Karena itu dapat dipahami mengapa yang paling penting untuk kita perhatikan secara serius pada anak adalah gharsul hubb (penanaman kecintaan) terhadap kebaikan maupun ‘amal shalih secara umum. Bukan pembebanan serangkaian tindakan yang harus dilakukan anak setiap hari sampai-sampai ada daftar periksa perilaku (behavior check list) yang sangat banyak. Setiap hari.
Psikologi mazhab behaviorisme (menarik ya, ilmu pengetahuan pun ada mazhabnya) memang menekankan pada mekanisme pembiasaan. Tetapi banyak catatan berkenaan dengan pembebanan serangkaian daftar perilaku yang sangat ketat dan harus dijalankan oleh anak. Salah satunya berkenaan dengan kesejahteraan mental anak di usia-usia berikutnya.
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim
Sumber: https://www.facebook.com/share/p/Q7Lzp8n9D3LF2vsf/
Enam Tips Mengajari Anak Bersikap Lemah Lembut
Pertama, memberikan contoh secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak adalah makhluk istimewa yang cepat serta mudah merekam dengan baik perilaku orang tua ataupun orang-orang di sekelilingnya. Sehingga, penting untuk memberi teladan sebagai upaya menumbuhkan kebiasaan pada diri mereka.
"Memberikan contoh secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak adalah makhluk istimewa yang cepat serta mudah merekam dengan baik perilaku orangtua ataupun orang-orang di sekelilingnya."
Sumber: Majalah Suara Hidayatullah EDISI 03 | XXXV | Dzulhijjah 1445 | Juli 2024
Agama Itu Nasihat; Untuk Siapa?
“AGAMA itu adalah nasihat. Mereka (para sahabat) bertanya; untuk siapa wahai rosulullah?. Rosulullah bersabda; untuk Allah, kitab-Nya, rosul-Nya, imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya” (HR. Muslim, no.55/95, Abu Dawud no. 4944. an-Nasa’I (VII/156), Ibnu Hibban Ta’liqotul hisaan no.4555), Ahmad (IV/102), Al-Baihaqy (VIII/163). (Arbain Nawawy hadits no.7)
Nasehat kepada Allah
Imam Nawawi (676 H) berkata: nasehat untuk Allah artinya mengajak masyarakat manusia ke jalan Allah. Makna nasehat kepada Allah adalah beriman kepada-Nya, menafikan semua sekutu bagi-Nya, menetapkan sifat-sifat yang mulia bagi-Nya, melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan badan dari aneka maksiyat kepada-Nya, berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.
Nasehat untuk Allah mencakup 2 hal, yaitu ikhlas beribadah kepada-Nya dan memenuhi persaksian (syahadat) tauhid kepada-Nya secara rububiyyah, uluhiyyah, serta asma’ wassifat.
Syeikh Muhammad As-Sindi (1163H) berkata; nasehat kepada Allah maksudnya agar seorang hamba berusaha menjadikan dirinya ikhlas kepada-Nya, seorang muslim wajib mengagungkan-Nya dengan sebesar-besar pengagungan, mengamalkan ketaatan secara lahir maupun batin serta menjauhi apa-apa yang Dia benci. Hatinya penuh cinta dan rindu kepada-Nya, mensyukuri semua nikmat-nikmat-Nya, sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridho kepada taqdir-Nya.
Nasehat kepada Allah maksudnya menyeru manusia supaya memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, berupa; melaksanakan rukun iman dan islam, berdo’a, berharap, memohon perlindungan, memohon ampunan, bertaubat, tawakkal, takut, bernadzar, ta’dzim, berserah diri, taslim total hanya kepada Allah ta’ala semata-mata. Dan bukan kepada selain-Nya.
Nasehat kepada Kitab-Nya
Nasehat untuk kitab mencakup beberapa perkara, yaitu bersikap mengagungkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, tidak ragu-ragu terhadapnya, melaksanakan anjuran-anjuran di dalamnya, menjauhi apa yang menjadi larangan-larangannya, berhukum dengan hukum-hukumnya, meyakini bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang datang dari sisi Allah yang terjaga hingga hari qiyamat.
Syeikh Muhammad As-Sindi (1163H) berkata; nasehat kepada Kitab maksudnya meyakini bahwasanya Al-Qur’an itu kalamullah, mengimani apa yang ada di dalamnya, membacanya, bersikap memuliakannya, mengutamakannya dari selainnya, mempelajarinya agar mendapatkan ilmunya, serta mengamalkannya agar selamat karenanya.
Nasehat kepada Kitab maksudnya menyerukan Al-Qur’an ke segenap penjuru dunia, ke desa-desa, kota-kota, kantor-kantor, instansi-instansi, daerah-daerah, kutub bumi, pelosok-pelosok kampung baik daratan maupun lautan. Me-masyarakat-kan Al-Qur’an dan meng-Al-Qur’an-kan masyarakat. Dan program ini adalah semulia-mulia pekerjaan, karena menjadikan jaringan masyarakat ber-tauhid.
Bagaimana hal ini dikatakan tidak mulia? Padahal menunaikann seruan dalam Al-Qur’an adalah keutamaan, anugerah, kebajikan, kasih sayang, cinta, keadilan, keuntungan, kejayaan, pertolongan, jalan solusi, harapan dan segala perbendaharaan kebaikan untuk segenap manusia. Dunia, juga akhirat. Sebab isi kandungan Al-Qur’an adalah demikian, yakni seruan untuk bertauhid, memerintahkan manusia agar memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, dan tidak menyekutukan Allah dengan apa saja.
Al-Qur’an merupakan pelita zaman, wasilah bagi penempuh perjalanan kepada Allah, tiada mampu mencapai derajat kedekatan kepada Allah kecuali dengannya, ia sebagai penyejuk mata dan hati bagi orang berilmu, pelipur lara bagi yang mendapat cobaan. Al-Qur’an adalah jalan yang harus ditempuh bagi pencari keselamatan, karena kalau tidak, dia pasti sesat.
Nasehat kepada Rosul-Nya
Nasehat untuk rosulnya mencakup beberapa perkara, yaitu ittiba’ kepada Rasulullah, beriman kepadanya bahwa Rasulullah adalah manusia yang benar, tiada pernah berdusta sebagai manusia pilihan, membenarkan apa yang beliau beritakannya, melaksanakan perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya, mengamalkan sunnah-sunnahnya yang mana manusia kini telah meremehkannya. (Syarah Arba’in an-Nawawy, hadits ke-7, oleh syeikh al-Utsaaimin)
Nasehat untuk Rasulnya berarti; meyakini bahwa Rasulullah adalah seutama-seutama makhluk dan kekasih Allah, yang diberi keistimewaan mendapatkan wahyu, diutus kepada segenap manusia agar; memberi kabar gembira bagi yang mengikutinya, berupa kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan kekal di surga. Serta memberi peringatan kepada siapa saja yang mengingkarinya, berupa kesempitan hidup di dunia dan kesengsaraan kekal di neraka.
Orang yang sukses adalah orang yang mampu membawa kecintaan dan ketaatan kepada sunnahnya. Dan hakekat orang yang gagal adalah orang yang terhalang mengikuti ajarannya, yang meremehkan hadits-haditsnya sebagai sesuatu yang sepele. Barangsiapa yang mengikuti rosul berarti mengikuti Allah, dan barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah membangkang Allah secara nyata.
Sebagaimana Allah berfirman;
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang baik, niscaya Allah akan memperbaiki bagimu perkara-perkaramu, dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan rosul-Nya maka sungguh dia beruntung dengan keberuntungan yang agung” (QS. An-Nahl: 96) 10)
Nasehat kepada pemimpin kaum muslimin
Para ulama ada yang berpendapat tentang pemimpin kaum muslimin adalah ulama’ dan yang lain adalah umaro’ (pemerintah). Karena yang memimpin kaum muslimin dalam perkara agama mereka adalah ulama sedangkan dalam hal keduniaan adalah umaro’.
Nasehat untuk ulama’ adalah bersikap mencintai mereka, sebab mereka adalah pewaris para nabi, mereka ulama robbany yang selalu menjaga umat ini dengan firman Allah dan sabda-sabda Rasulullah. Juga, membantu mereka, bergaul dengan baik, menasehati dengan baik manakala melakukan kesalahan. Demikian pula kepada pemerintah. (Syarah Arba’in an-Nawawy, hadits ke-7, oleh syeikh al-Utsaaimin)
Yaitu nasihat kepada penguasa maupun pemimpin kaum muslimin, maka mereka menerima, mendengar dan mentaati perintahnya dalam hal yang makruf, bukan maksiyat, karena tidak ada ketaatan dalam hal maksiyat kepada al-Kholiq.
Menasehati para pemimpin berarti tidak menyerang mereka selama mereka taat dan menegakkan agama, selalu berusaha memperbaiki kondisi para pemimpin, tidak memberontak, provokasi, mengobarkan api fitnah kebencian, membersihkan kerusakan mereka, memerintah mereka kepada kebajikan, melarang mereka dari keburukan, selalu mendoakan mereka agar mendapatkan kebaikan. Karena kebaikan mereka berarti akan dicontoh rakyat, rusaknya mereka berarti akan mencerminkan bejatnya rakyat.
Imam Fudhail ibnu ‘Iyadh berkata: Jikalau aku memiliki do’a yang bagus maka aku juga peruntukkan untuk pemimpinku. Lalu ditanyakan: wahai Abu ‘Ali apa maksudmu dengan ucapan itu? Beliau menjawab; jika do’a itu hanya untuk diriku maka kebaikannya juga hanya untuk diriku, namun jika doa itu untuk para pemimpin dan ternyata mereka berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat kebaikannya. Maka kewajiban kita adalah terus menasehati para pemimpin serta mendoakan mereka”.
Menjelek-jelekkan penguasa di forum media, mengkudeta, menampakkan kebencian dengan terang, mengangkat senjata, mengebom sana-sini, adalah cara politik khowarij yang jelas jauh dari petunjuk nabi. Bahkan nabi sendiri tidak demikian, dan hal demikian termasuk dosa menyalahi sunnah, menimbulkan bahaya yang lebih besar dan sangat minim manfaatnya.
Nasehat kepada kaum muslimin keseluruhan
Yaitu dengan menolong mereka dalam kebaikan dan taqwa, melarang mereka dari keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintai diri sendiri, dikarenakan mereka semua sama-sama ingin menjadi hamba Allah yang baik. Maka haruslah bagi seorang hamba yang baik untuk memandang mereka dengan kaca mata yang satu, yaitu kaca mata kebenaran.
Menasehati kaum muslimin berarti memperbaiki keadaan mereka, menjaga keutuhan mereka agar saling hidup penuh damai dan sentausa, menuniakan haq dan kewajiban, menghormati dan menyayangi. Adapun hak kaum muslimin adalah; menjenguk mereka apabila sakit, melawat mereka jika meninggal, mendoakan mereka jika bersin, menjawab salam mereka, mendatangi undangan mereka, menutup aib mereka, menolong hajat mereka, menjaga kehormatan, darah dan harta mereka, memberikan manfaat, menjauhkan mereka dari mudhorrot serta berkasih sayang dengan mereka.
Kesimpulan faidah hadits ini:
- Pentingnya nasehat agama untuk umat manusia.
- Bagusnya metodologi pengajaran nabi yang bersifat umum (mujmal) dahulu kemudian rincian penjelasan
- Semangatnya sahabat untuk mengetahui kandungan ilmu.
- Bagusnya sistematika keterangan nabi dari perkara yang paling penting untuk manusia yaitu, Allah, kitab, rosul, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.
- Wajibnya nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin
- Isyarat bahwa betapa pentingnya kaum muslimin hidup berjama’ah dengan pemimpin.
- Wajibnya menjaga ukhuwah untuk semua kaum muslimin.
- Sungguh nasehat nabi ini pendek dan singkat, namun betapa agungnya isinya, alangkah bagusnya jika dilaksanakan, alangkah hebatnya, alangkah baiknya, alangkah amanahnya pelakunya. Semoga termasuk kita.
Penulis: Ust Mardiansyah (pendidik di Ponpes Hidayatullah Bontang)
Sumber: https://hidayatullah.or.id/menyerap-makna-pesan-rasulullah-agama-adalah-nasehat/
Custom HTML
Banner 2
[Disarankan = 16:9]
Banner 1
[Disarankan = 16:9]
Banner 3
[Disarankan = 16:9]
Video 7 Tips Bahagia
Video High Excellence Spirit
Video The Ramadhan Avengers
Daftar Guru
Daftar Guru Sekolah Kami
.gif)





.jpeg)
.jpeg)





.png)


